head
Jumat, 18 Februari 2011
Pendapat Buya HAMKA tentang Ahmadiyah
Assalamualaikum wr.wb
Sahabatku rahimakumullah,
Terlampir adalah sebuah kutipan oleh Buya Hamka (salah satu Ulama dan sastrawan Besar yang pernah lahir di Indonesia) tentang apa itu Ahmadiyah yang saya sunting dan kutip dari buku HAMKA, 1956, “Peladjaran Agama Islam,” Penerbit “Bulan-Bintang,” Djakarta, Tjetakan Pertama.
Semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum, IPH
TAK ADA NABI SESUDAH MUHAMMAD
Tak ada lagi nabi sesudah Muhammad, dan tidak ada rasul. Baik nabi yang akan dinamai “pengiring” Muhammad, atau nabi yang membawa syariat baru. Demikian kepercayaan Ummat sejak Quran diturunkan.
Nabi Muhammad pun bersabda: “Tidak ada nabi lagi sesudahku.”
Tak ada nabi atau rasul lagi, sebab tidak ada SOAL lagi.
Soal apa lagi yang akan dibawa oleh nabi yang baru? Sedang masyarakat manusia sudah lebih maju, dan ada jalan kesanggupan buat mencari Kebenaran Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa dengan sendirinya. Bukan saja Quran, bahkan kitab Taurat dan Injil dan Zabur telah dicetak bermilliun banyaknya. Meskipun menurut kepercayaan Islam, dalam Quran telah terkumpul intisari dari kitab-kitab terdahulu itu.
Memang! Manusia senantiasa maju dalam mencari Ilmu pengetahuan. Senantiasa maju didalam mencari rahasia isi bumi, bahkan bulan dilangitpun telah diselidiki orang. Tentang kemajuan disudut ini, tidaklah ada diantara kita yang membantahnya. Tetapi bagaimanapun kemajuan Ilmu pengetahuan, namun inti dari ilmu pengetahuan itu sudah ada dalam ajaran Tauhid, yang sudah genap diajarkan oleh Muhammad. Inti kepercayaan kepada Tuhan sudah cukup, tidak perlu tambahan lagi dari orang yang mengatakan dirinya nabi atau dikatakan oleh pengikutnya nabi.
halaman 191
PERCOBAAN MENGAKU NABI LAIN SESUDAH MUHAMMAD
Berkali-kali telah dicoba orang juga mendakwakan dirinya Nabi pula, ada yang sengaja hendak menandingi Muhammad, dan ada pula yang mengatakan syariat Muhammad telah putus, sebab nabi baru telah datang membawa syariat baru. Dan ada pula yang mengatakan bahwa dia, atau guru ikutannya, adalah nabi pula sesudah Muhammad. Tetapi bukan membawa syariat baru. Kedatangannya hanyalah hendak menyempurnakan syariat Muhammad saja.
Berkali-kali orang seperti ini telah datang, tetapi kemudian ternyata seruannya hilang saja, tidak hidup. Karena kebesaran Tauhid ajaran Muhammad menelan habis satu percobaan yang lain. Nabi-nabi dusta tumbang dengan sendirinya, tidak dapat berurat di bumi ini. Mereka gagal, karena dustanya, dan karena soal yang dibawanya itu tidak cukup satu seperseratus dari soal Nubuwwat Muhammad.
AHMADIYAH
Mirza Ghulam Ahmad di Qadiyan India-pun mendakwakan pula dirinya Mahdi dan Isa. Jadi sekaligus keduanya, berbeda dengan Al-Bab dan Bahaullah. Diapun menerima wahyu-wahyu Illahi, menurut dakwanya. Tetapi ada perbedaan sedikit, karena Mirza Ghulam Ahmad, katanya, bukanlah menghapuskan syariat Muhammad dengan syariat yang baru. Dia adalah Nabi Pengiring. Dialah Mahdi yang ditunggu dan Isa yang dijanjikan, dan dia pulalah Mujaddid yang mesti datang tiap seratus tahun sekali.
Pengikut Mirza Ghulam Ahmad pun pecah menjadi dua pula. Keduanya sama-sama bernama Ahmadiyah. Pertama, Ahmadiyah Qadiyan, mempunyai Kalifatul-Masih yaitu Kalifah dari Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Golongan Lahore memisahkan diri dan mengakui Mirza Ghulam Ahmad hanyalah semata-mata guru dan mujaddid. Terjadi pertentangan diantara keduanya, karena golongan Qadiyan menuduh kafir golongan Lahore karena hanya mengakui mujaddid saja. Golongan Lahore yang memisahkan diri itu dikepalai oleh Maulana Mohammad Ali dan Kawaya Kamaluddin.
Kedua golongan Ahmadiyah ini sama-sama berusaha menyiarkan Islam, tetapi melalui dasar faham mereka lebih dahulu, yaitu Mirza Ghulam Ahmad (Al-Masih al-Mau’ud) bagi Qadiyani, dan Mirza Ghulam Ahmad (Mujaddid Abad ke-20) bagi kaum Lahore.
halaman 194
PENDAPAT KITA
Kita tetap memegang pendirian Ahli Sunnah, bahwa sesudah Muhammad tidak akan datang nabi lagi. Karena soalnya sudah habis. kalau akan kita terima kedatangan itu, manakah yang akan kita tetapkan? Apakah Mirza Ghulam Ahmad, atau Mirza Ali Muhammad (Al-Bab), atau Bahaullah? Atau kita akui semuanya, padahal diantara satu sama lain berlawanan pula. Atau kita akui semuanya, dan kita akui pula yang lain yang akan mendakwakan dirinya menjadi nabi pula nanti.
Kalau dikatakan karena dia menyerukan perdamaian Dunia, maka dia membawa syariat baru, tidak bolehkah Mahatma Gandhi dikatakan pula nabi? Atau Krisna Vedanta di Colorado? Yang juga menyerukan perdamaian dunia.
Kaum Ahmadi mengemukakan alasan yang sama untuk menolak pendirian umum bahwa Nabi Muhammad “Penutup Segala Nabi,” dengan ayat “Khataman Nabiyyin.” Menurut qiraat (bacaan) yang umum ayat itu dibaca “Khatam,” bukan “Khatim.” Tetapi artinya adalah “Khatim.” Khatam artinya cincin, dan Khatim artinya penutup.
Khataman Nabiyyin artinya cincin permata segala nabi. Kalau sekiranya kita perturutkan rasa bahasa, tentu Nabi Muhammad itu tidak nabi lagi, hanyalah cincin perhiasan segala nabi-nabi. Yang mempunyai cincinlah yang nabi, bukan cincin itu sendiri.
Didalam keterangan yang biasa mereka kemukakan, adalah bahwa tidaklah perkara yang mustahil bahwa Allah akan berkata-kata dengan hambanya. Tidaklah akan putus sampai hari kiamat orang yang dipilih Allah buat menumpahkan katanya. Tidaklah akan hilang begitu saja wahyu sampai kiamat.
Tentang itu Ahli Sunnah-pun mengakui juga. Di kalangan sahabat Nabi, ketika Nabi masih hidup terdapatlah orang istimewa yang demikian. Yaitu Umar bin Khattab. Sehingga Nabi Muhammad pernah mengatakan, bahwasanya jika ada nabi sesudahku, niscaya Umarlah orang itu. Tetapi tidak ada lagi nabi sesudahku.
Mengapa tidak? Nabi Muhammad sendiri menjelaskan bahwa “Ulama-ulama umatku adalah sama derajatnya dengan nabi-nabi Bani Israil.” Kalau kata nabi yang demikian akan diperluas, maka seluruh ulama yang berjasa membangun Islam, patutlah disebut nabi. Imam Al-Ghazali, Imam ul Haramain, Ibnu Taimiyah, dan muridnya Ibnu Qayyim, dan Syeh Muhammad ibnu Abdil Wahhab, dan Said Jamaluddin Al-Afghani, dan Syeh Muhammad Abduh dan Said Rasyid Ridha, patutlah disebut sebagai nabi. Karena mereka dalam sifat keulamaannya samalah jasanya dengan nabi-nabi Bani Israil. Dan orang Indonesia dalam kalangan Nahdhatul Ulama patutlah menyebut kyai besarnya Hasyim Ashari sebagai nabi, sebab jasanya besar pula. Demikian pula Muhammadiyah dengan Kyai H.A. Dahlannya.
Banyak diantara ulama mendapat ilham dari Tuhan, seakan-akan wahyu Illahi. Karena mereka berfaham Ahli Sunnah, tidaklah mereka berani mengatakan dirinya nabi. Dan kalau mereka mendakwakan dirinya nabi, akan musnahlah mereka.
Kalimat wahyu suci yang diberikan Tuhan, oleh faham Ahli Sunnah telah ditentukan buat rasul dan nabi. Setinggi-tinggi martabat manusia ini hanyalah mendapat hatif atau ilham, atau mimpi yang benar, atau mahaddas. Kalau wahyu itu dikatakan akan putus selama-lamanya, perkataan itu benar juga dari segi lain. Lebah menurut Sabda Tuhan didalam Quran, mendapat wahyu untuk membuat sarangnya di bukit dan di bubungan rumah. Ibu Musa mendapat wahyu Tuhan supaya melemparkan puteranya dalam peti di sungai Nil. Dan lebah bukanlah nabi, padahal sampai sekarang tidaklah putus dia mendapat wahyu itu, selama dia masih bersarang di bukit dan di bubungan rumah. Dan ibu Nabi Musa bukanlah nabi.
HADIST MAHDI DAN ISA
Al-Quran tidaklah memberikan tuntunan yang tegas tentang akan turunnya Mahdi dan Isa di akhir jaman. Padahal tiga orang yang mengaku dirinya Nabi atau Rasul di jaman ini (Mirza Ghulam Ahmad, Miza Ahli Muhammad dan Bahaullah), belum dapat menegakkan pendakwaan itu, kalau tidak berdasar kepada hadis-hadis tentang turunnya Mahdi dan Isa itu.
Seratus tahun sesudah Nabi Muhammad wafat, barulah orang mempunyai kesempatan untuk mengumpulkan hadis. Yang lebih dahulu dikumpulkan hanyalah Quran. Jadi dalam masa 100 tahun adalah masa “kosong” yang merupakan kesempatan untuk membuat hadis bagi golongan-golongan yang bertentangan. Terutama kaum Syiah. Payahlah ulama hadis menjaring hadis mana yang masyhur, mana yang shahih, mana yang dhaif dan mana yang maudhu. Pertentangan-pertentangan yang maha hebat di waktu itu di antara beberapa firkah yang timbul karena politik, menimbulkan golongan-golongan yang sampai hati membuat hadis-hadis palsu, sehingga payah menjaringnya setelah ilmu hadis muncul sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Ibnu Khuldun didalam “Muqaddamah” tarikhnya mengkaji satu-persatu hadis Mahdi itu dan menyelidiki sanad serta matannya sedalam-dalamnya, sehingga kemudian diambil kesimpulan bahwasanya sebagian besar dari hadis ini tidak dapat diterima. Oleh sebab itu maka kaum Ahli Sunnah tidaklah menjadikan hadis-hadis Mahdi atau nuzul Isa itu menjadi pokok kepercayaan prinsipiil.
Ulama tafsirpun berbincang hebat tentang turunnya Nabi Isa. Lebih-lebih telah tersebut pula dalam satu hadis, bahwa “Mahdi itu tidak lain adalah Isa.” Mereka perbincangkan apakah Isa itu masih hidup, lalu diangkat Tuhan kelangit, ataukah dia telah meninggal dunia sebagaimana kebanyakan manusia. Tuhan bersabda tentang Nabi Isa:
“Sesungguhnya Aku mewafatkan engkau dan mengangkatkan engkau kepadaKu.”
Orang yang memegang kepercayaan bahwa Nabi Isa belum mati, dan hanya menguatkan bahwa Nabi Isa diangkat ke langit dengan tubuhnya, terpaksa mesti mencari arti yang lain dari kata “wafat” itu. Tetapi yang berpendapat bahwa Nabi Isa mati, langsung saja mengartikan ayat itu menurut zahir bunyinya. Mula-mula beliau wafat, setelah itu beliau diangkat ke hadirat Tuhan, sebagaimana setiap insan yang mulia. Sebab itu ke-angkat-an itu tidak mesti ke langit, melainkan ke hadirat Tuhan.
Orang Ahmadi memegang tafsir yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah wafat, telah mati. Dan kemudian dari hal itu, merekapun menguatkan bahwa Nabi Isa akan datang kembali. Yang datang itu bukan Isa Israili yang dahulu, karena dia telah jelas meninggal. Yang ditunggu kedatangannya sebagaimana tersebut dalam hadis adalah orang lain yang membawa sifat-sifat Isa. Kata orang Ahmadi, orang itu adalah Mirza Ghulam Ahmad.
Sebenarnya kepercayaan tentang akan datangnya Mahdi diakhir zaman, atau Nabi Isa akan datang kembali, atau Messiah menurut kepercayaan Yahudi, atau Buddha Gautama bagi orang beragama Buddha, mendalam juga dalam kalangan kaum Syiah yang selalu menunggu-nunggu kembalinya Imam mereka yang ghaib. Ismailliyah menunggu Ismail. Istna Asyriyah menunggu Muhammad bin Hasan Al-Askary, Imam Syiah ke-12. Kisaniyah menunggu datangnya kembali Muhammad bin Ali Hanafiyah Semuanya itu sekarang tengah ghaib dan akan datang kembali!
Kepercayaan seperti inipun mendalam pula pada setengah penganut tasawuf, yang mempercayai bahwa alam diatur oleh wali-wali Allah yang bernama “Watad,” dan “Badal,” dan “Quthub.” “Quthub” itu adalah ghaib pula. Di Indonesia kepercayaan ini sangat mendalam dalam filsafat kejawen yang menunggu kedatangan Ratu Adil.
Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa dialah yang ditunggu-tunggu itu. Dialah Isa Al-Masih yang dijanjikan, dia pula Mahdi yang ditunggu-tunggu. Dan karena ada pula sebuah hadis menyatakan bahwa setiap 100 tahun akan datang seorang mujaddid (pembaharu keagamaan), maka dia pulalah mujaddid itu. Pendeknya segala yang ditunggu-tunggu itu, tidak ada orang lain, melainkan dirinya sendirilah.
Oleh karena dialah Al-Masih, tentu dialah nabi. Kadang-kadang Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa dia bukanlah membawa syariat baru. Dia dengan Nabi Muhammad saw adalah bagaikan Harun terhadap Musa belaka. Penguat syariat Muhammad, bukan pengubahnya. Tetapi satu hal dia menyatakan memang berubah yaitu jihad. Jihad tidaklah dengan senjata, cukup dengan mengemukakan alasan-alasan belaka. Adapun Bahaullah menyatakan dirinya terang-terang nabi lain sesudah Muhammad. Dengan kedatangannya habislah tugas agama Al-Bab dengan kitabnya Al-Bayan. Dan dengan kedatangan Al-Bab dahulu, habis pulalah tugas syariat Muhammad.
Adapun dasar kepercayaan kita dengan berpegang kepada ayat yang tertulis di atas tadi nyatalah bahwa Nabi Isa telah wafat. Nabi Isa telah wafat, dengan berdasarkan kepada “mutawaffika” tadi. Dan dia telah diangkat ke hadirat Allah, (wa rafi’uka ilayya), sebagaimana setiap roh yang suci senantiasa diangkat menghadap ke hadirat Allah.
Adapun tentang turunnya kembali beliau ke dunia, sebelum hari kiamat datang, adalah hadis yang bernama “Al-Uhad.” Tidak termasuk kedalam hadis yang mutawatir. Maka menurut pertimbangan ahli-ahli hadis, kalau sekiranya tidak kita jadikan menjadi pokok kepercayaan, sebagaimana pokok kepercayaan yang enam perkara (rukun iman), tidaklah kita keluar dari Agama Islam.
Meskipun demikian tidaklah boleh kita menolak kekuasaan Tuhan. Turunnya Nabi Isa kembali ke dunia, tidaklah hal yang mustahil, walaupun tulangnya telah hancur. Bukanlah didalam Al-Quran ada tersebut cerita burung-burung yang telah dicincang lumat oleh Nabi Ibrahim atas perintah Tuhan. Burung itu empat ekor banyaknya. Lalu dihantarkan ke puncak empat buah bukit. Tuhan memerintahkan kepada Ibrahim supaya empat burung itu dipanggil kembali. Maka datanglah keempat burung itu, dengan izin Allah!
Dipandang dari segi kepercayaan ini, datangnya Nabi Isa kembali ke dunia setelah beribu tahun beliau wafat, hanyalah permulaan saja dari kebangkitan mahluk Tuhan yang lain. Seluruh insan dihari kemudian akan dibangkitkan. Hanya Isa Al-Masih didahulukan. Hal ini biasa saja bagi Tuhan.
Oleh sebab itu, maka pendakwaan orang-orang seperti Mirza Ghulam Ahmad, bahwa merekalah Isa Al-Masih yang dijanjikan itu, tidaklah kita percayai. Kita memandang mereka itu hanyalah sebagai pendakwa-pendakwa kenabian yang lain juga. Sebelum merekapun telah ada juga pendakwa kenabian itu. Menggelegak menggejala setahun dua tahun, taruhlah sepuluh-duapuluh tahun, kemudian padam lagi. Dan kelak akan begitu pula. Bukan saja yang seperti ini ada dalam Islam, juga ada dalam agama Kristen. Bahkan kaum theosofi pernah mengemukakan Khrisna Murti sebagai Al-Masih yang ditunggu-tunggu itu.
Kaum Ahmadi mengambil alasan atas kebenaran seruan mereka, ialah karena kian lama faham mereka kian tersiar, terutama di benua Eropa dan Amerika. Ini bukan alasan! Sebab kehausan manusia di kedua benua itu akan tuntunan rohani, setelah terlalu tenggelam dalam hidup kebendaan, menyebabkan ada diantara mereka yang lekas saja menerima suatu propaganda baru. Bukan faham Ahmadi saja yang mereka terima, gerakan yang lainpun mendapat pasaran subur juga disana. Di Jerman telah ada pula penganut faham Buddha dan mempunyai biara sendiri. Pelajaran tasawuf dari Inayat Khan mendapat penganut juga. Bahkan seorang yang mendakwakan dirinya Al-Masih dan memakai gelar Khrisna Vedanta di negara bagian Colorado, USA, telah mendapat pengikut pula. Demikian pula seorang kulit hitam di Pennsylvania (Philadelphia) mengaku dirinya Tuhan dan memakai nama Father Divine, tidak pula kurang penganut dan pengikutnya.
Di Amerika muncul tidak kurang 200 sekte Kristen. Masing-masing mengatakan bahwa mazhab mereka kian lama kian besar dan melebihi yang lain.
Terutama kaum Bahai! Mereka timbul di negeri Iran yaitu pada jaman pemerintahan Sultan Nasiruddin Syah. Seorang syah yang terkenal kejam pemerintahannya dan berkuasa tanpa batas. Bahaullah pada mulanya mengajarkan pembelaan hak kaum wanita, menganjurkan penghentian poligami, mengatakan bahwa dalam ajarannya tidak ada kekuasaan kaum mullah. Tentu saja ajaran “baru” dari Bahaullah ini menggoncangkan politik dan susunan masyarakat kerajaan, persekutuan kaum mullah dengan Syah. Kaum ini dikafirkan dan diperangi. Al-Bab sampai dibunuh dan Bahaullah dibuang keluar negeri. Padahal setelah kecerdasan beragama maju kembali, orang telah merasa bahwa tidak perlu ada nabi baru membawa ajaran baru. Seruan-seruan yang diserukan Bhaullah itu memang telah ada dalam tubuh Islam ajaran Muhammad sendiri, dengan tidak usah keluar dahulu dari Islam, dan membuat agama baru.
Adapun kaum Ahmadi dan usahanya melebarkan Islam ke benua Eropa dan Amerika, dengan dasar ajaran mereka, faedahnya bagi Islam ada juga. Mereka menafsirkan Quran kedalam bahasa-bahasa yang ada di Eropa. Padahal di jaman 100 tahun yang lalu masih merata kepercayaan tidak boleh mentafsirkan Quran. Pentafsiran Quran dari kedua golongan Ahmadiyah itu membangkitkan minat bagi golongan yang menginginkan kebangkitan Islam ajaran Muhammad kembali untuk memperdalam selidiknya tentang Islam. Orang sekarang telah pandai menimbang. Tafsir kaum Ahmadi itu mereka baca juga. Yang baik mereka terima dan kepercayaan tetang kenabian, kerasulan, kemahdian, ke-Al-Masih-an Mirza Ghulam Ahmad mereka singkirkan ketepi. Dan tafsir-tafsir karangan ulama Islam sendiripun telah muncul, yang isinya jauh melebihi tafsir Ahmadi. Kelebihan tafsir Ahmadi hanyalah karena ditulis dalam bahasa Barat, menarik hati kaum terpelajar cara Barat, tapi kosong ilmunya tentang bahasa Arab.
Di Indonesia sendiri, ketika gerakan-gerakan ini mulai masuk, agak ribut juga orang menerimanya. Apalagi mereka suka berdebat-debat sebagai alat propaganda untuk menarik perhatian. Dalam pada itu maka pengertian kaum Islam tentang agama bertambah mendalam, ahli-ahli Islampun telah timbul lebih banyak daripada dahulu. Kian lama kian sepi gerakan mereka. Yang dapat tertarik hanyalah orang-orang yang belum ada pengertiannya tentang Islam. Setinggi-tinggi usaha mereka adalah memelihara pengikut-pengikutnya. Di Tempat yang kuat Islamnya, seperti di Padang Panjang, terpaksa pengikut-pengikutnya itu meninggalkan kampung halaman, dan pindah ke kota Jakarta, sebab “bebas” mengerjakan kepercayaannya. Sikap merekapun telah berubah!
Jika semula pada waktu pertama kali mereka suka mengajak berdebat, diakhir-akhir ini mereka mengambil sikap hanya mempertahankan diri jika datang serangan. Tandanya bahwa pasaran mereka telah mulai sepi.
Adapun kalau ada tambahan pengikut mereka, tidaklah hal demikian mengherankan kita di Indonesia ini. Buka saja Ahmadiyah, Bahai-pun telah ada pengikutnya disini. Bukan saja Bahai dan Ahmadi, bahkan Katolik dan Protestan-pun ada juga tambahan penganutnya disini. Bahkan orang yang masuk komunis-pun ada. Sebabnya adalah karena Islam di Indonesia pada jaman yang sudah-sudah terdesak oleh beberapa desakan. Baik politik, atau ekonomi atau kejahilan tentang ajaran agama Islam sebenarnya.
Semuanya ini adalah cemeti untuk membangkitkan beransang kaum Muslimin, dibawah pimpinan ulama dan pimpinanNya supaya bangkit dan berusaha menegakkan “Dakwah Islamiyah,” lebih giat daripada yang sudah-sudah.
Alhasil, Muhammad adalah penutup dari segala rasul, dan bukanlah dia mata-cincin dari segala rasul. Sesudah dia tidak ada nabi lagi, baik nabi yang menasikhkan syariat Muhammad, ataupun nabi yang dikatakan “pengiring” Muhammad. Dengan kedatangannya sempurnalah binaan kepercayaan isi alam yang telah dibawa berturut-turut oleh nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum dia. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi yang sebelum aku, adalah seumpama seseorang yang membangun bangunan-bangunan. Diperindahnya dan diperbagusnya binaan itu, kecuali (ketinggalan) suatu batu tembok pada sudut daripada sudut-sudutnya itu. Maka manusiapun berkelilinglah dan takjub melihat binaan itu, dan mereka berkata: ‘Alangkah baiknya ditutupi sebuah batu tembok yang kurang ini.’ Maka akulah batu tembok itu, dan akulah penutup segala nabi-nabi.”
Maka kalau ada orang mendakwakan dirinya nabi sesudah Muhammad, niscaya bohonglah pendakwaannya itu. Dan barang siapa yang mempercayai akan dakwaan orang itu, mendustakanlah dia akan pernyataan Muhammad. Sebab itu maka tidaklah dia golongan Ummat Islam (Ummat Muhammad).
Sesungguhnya demikian, sebagai Ummat Islam yang mengaku adanya keluasan dada (tasamuh), kita akan bergaul juga dengan mereka sebaik-baiknya, sebagaimana kita bergaul dengan Ummat Buddha, Kristen dan Yahudi.
Apalagi Nabi Muhammad saw. telah pula memeberi peringatan bagi kita bahwa sesuadh beliau wafat akan datang orang mendakwakan dirinya nabi atau rasul. Padahal mereka adalah pembohong. Nabi bersabda:
“Akan ada pada akhir kemudian ummatku orang-orang dajjal pembohong. Membicarakan kepada kamu perkara-perkara yang belum pernah kamu dengar, dan tidak pula pernah didengar oleh nenek-moyangmu. Maka berawas-awaslah kamu dan berawas-awaslah mereka. Janganlah sampai mereka menyesatkan kamu dan jangan memfitnahi kamu.”
Dan sabda beliau pula:
“Sesungguhnya akan ada pada ummatku tigapuluh orang pembohong! Semuanya mengaku bahwa dirinya Nabi. Akulah penutup segala nabi. Tidak ada nabi sesudah aku. Dan akan senantiasalah segolongan dari ummatku tegak diatas kebenaran. Tidak akan memberi bencana atas mereka siapapun yang menentang mereka, sehingga datanglah ketentuan Allah, dan mereka tetap saja demikian.”
Cukuplah wahyu dengan turunnya penutup segala kitab suci, yaitu Al-Quran. Bereslah risalat dan nubuwwat dengan datangnya penutup segala rasul dan nabi yaitu Muhammad saw.
Dengan kepercayaan yang demikianlah hidup kita dan mati kita.
* * *
Bagaimanapun kepintaran kita dan betapapun ilmu pengetahuan yang didapat oleh manusia di dalam alam ini, namun rahasia yang masih tersembunyi masih lebih banyak. Rahasia yang menjadi rahasia dari segala rahasia adalah lingkungan “ghaib,” yang hanya dapat dirasai adanya, tetapi tak dapat dicapai oleh pancaindera atau oleh akal sekalipun dimana letaknya.
Kita akui, memang kadang-kadang kecerdasan berfikir dan berakal mendapat kesimpulan tentang adanya, tetapi hanya sebagian kecil dari rahasianya. Sebagaimana Aristoteles dan beberapa filsuf yang lain yang menghitung “yang Ada” dengan filsafat, akhirnya bertemu dengan keyakinan akan adanya Tuhan. Tetapi itu hanya sebagian kecil saja. Lebih banyak yang tidak dapat kita ketahui. Maka datanglah nabi-nabi dan rasul-rasul, dan penutup dari segala nabi dan rasul, bercakap dengan wahyu, menerima “kalimat” dari Allah sendiri. Maka dengan tuntunan beliau hilanglah keraguan kita dan teranglah bagi kita jalan kesana, sesudah payah meraba-raba dan mencari-cari. Maka pikiran yang beliau berikan dan cita yang beliau tanamkan dihati kita adalah pikiran dan cita yang sempurna, yang diwaktu hidup dapat kita pakai dan diwaktu mati dapat kita tumpang.
Maka percayalah kita kepadanya dan kita turutlah garis langkah yang beliau tinggalkan, yang patut kita lalui, untuk keselamatan kita pada hidup ini dan hidup setelah ini …
Bârakallâhu lî wa lakum,
Matur syukran n Terima kasih.
Semoga Bermanfaat ya
Imam Puji Hartono/IPH(Gus Im)
“Utamakan SEHAT untuk duniamu, Utamakan AKHLAK dan SHALAT untuk akhiratmu”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar