head

Senin, 21 Februari 2011

Cara Negeri Singa Menggaet Pasien

Senior Vice President Singapore Medical Group (SMG) Dr Saw Chit Aung memperlihatkan suasana ruang kemoterapi di Pusat Kanker yang dimiliki SMG, pertengahan Januari 2011. Pasien dibuat senyaman mungkin sebelum, selama, dan sesudah menjalani kemoterapi untuk mengatasi penyakit kankernya.



Suasana di The Cancer Centre yang menjadi salah satu layanan dari Singapore Medical Group terlihat nyaman. Dengan desain interior yang minimalis namun anggun, ruang tunggu klinik terapi kanker itu terasa cozy layaknya suasana kafe. Pusat layanan kasus kanker ini tampak berupaya untuk membuat pasien yang datang tidak merasa seperti akan masuk ke ”ruang jagal”.



Masuk ke ruang kemoterapi, tampak lukisan penggembala tengah menunggang kerbau dengan gaya lukisan kekanak-kanakan. Ini masih dilengkapi dengan perangkat personal computer Macintosh yang dapat dimanfaatkan pasien untuk berselancar di dunia maya atau menikmati acara hiburan sebelum menjalani terapi. Terdapat pula ruang tunggu pasien dan keluarganya yang didesain senyaman mungkin. Suasana yang tegang dan kaku seakan coba dicairkan dengan berbagai pendekatan oleh SMG yang berpusat di Paragon Medical di kawasan Orchard, Singapura.

Pertengahan Januari lalu, sejumlah jurnalis dari Indonesia diundang untuk melihat langsung layanan klinik medis SMG yang kini berusia 5 tahun dan memiliki 19 klinik cabang dan partner yang beroperasi di Singapura, Filipina (Manila, Alabang, dan Angeles City), Indonesia (Medan), dan Mongolia (Ulan Bator). Sebanyak 75 persen pasien rumah sakit dan klinik di Singapura adalah warga lokal, sisanya pasien asing, termasuk dari Indonesia yang merupakan pasien asing terbanyak bersama Malaysia, masing-masing 10 persen dari total pasien asing.

Bagi SMG yang 35 persen pasiennya orang asing, pasien dari Indonesia cukup potensial karena mencakup 14 persen total pasien asing yang datang, kedua terbesar setelah pasien asal Malaysia sebesar 17 persen. Kasus pasien asal Indonesia di SMG sebagian besar adalah gangguan mata (13-27 persen), estetika (9-16 persen), dan kanker (10-25 persen).

Pasien favorit

Chief Executive Officer SMG Dr Cheryl Baumann bahkan mengatakan, orang Indonesia yang datang ke Singapura bagaikan pulang ke rumah kedua. Kedua negara tidak hanya punya hubungan ekonomi dan perdagangan, tetapi juga secara sosial dan kebudayaan.

Menurut Senior Vice President SMG Dr Saw Chit Aung, pihaknya mengurus proses pasien yang ingin berobat hingga ke hal-hal kecil sejak tiba di bandara hingga kepulangan, termasuk acara hiburan (leisure) selama di Singapura.

Direktur Medis Singapore Lipo, Body, and Face Centre SMG Dr Kevin Teh bercerita, ia paling senang menerima pasien dari Indonesia. Pasalnya, jika pasien merasa puas, tidak lama teman-teman si pasien akan datang berbondong-bondong meminta layanan yang sama. Kebanyakan mereka datang untuk sedot lemak di perut dengan pendekatan liposelection dengan tarif mulai dari 1.450 dollar Singapura per bagian tubuh.

”Favorit saya pasien dari Indonesia. Kalau mereka puas, teman-temannya datang semua,” kata Kevin Teh.

Potensi pasien asing, baik yang tinggal di Singapura maupun yang sengaja datang untuk berobat, digarap dengan serius. Layanan kesehatan di sana telah berkembang menjadi turisme kesehatan yang menyumbang pendapatan 1,1 miliar dollar AS pada tahun 2007 dengan raupan pasien asing 460.000 orang, berdasarkan laporan Asian Medical Tourism (2008-2012) oleh lembaga riset dan analisis internasional RNCOS dan Council for Korean Medicine Overseas Promotion (CKMP).

Dalam laporan itu, Singapura menempati peringkat kedua (16 persen) setelah Thailand yang meraup 1,54 juta pasien asing, tetapi dengan pendapatan tidak terpaut jauh dengan Singapura, yakni 1,2 miliar dollar AS. Negara Asia lain yang menikmati kue ini adalah Malaysia (12 persen), India (9 persen), Filipina (9 persen), dan Korea Selatan (1 persen).

Daya tarik Thailand adalah ongkos pengobatan yang relatif lebih rendah dibandingkan negara tujuan turisme kesehatan lainnya di Asia, ditambah pesona pantai-pantainya. Singapura, meski menerapkan biaya pengobatan lebih tinggi, unggul dalam infrastruktur dan tenaga ahli yang dalam beberapa kasus bahkan dipandang lebih mumpuni ketimbang di negara Barat.

Total pendapatan yang diraih Asia (enam negara) sebesar 3,4 miliar dollar AS atau 12,7 persen pendapatan internasional dari pasien asing. Diperkirakan pada tahun 2012 pendapatan Asia dari sektor ini akan meningkat menjadi 7,5 miliar dollar AS atau 17,6 persen pendapatan internasional.

Dari data Singapore Tourism Board (STB), pada tahun 2008 Singapura berhasil menggaet 370.000 pasien internasional yang datang khusus untuk berobat. Mereka datang didampingi 230.000 orang. Selain itu, juga masih ada 45.000 orang yang datang secara insidental untuk tujuan lain, tetapi sekaligus mencari layanan kesehatan.

Total kedatangan 640.000 orang yang menyumbang pendapatan 1,9 miliar dollar AS bagi ”Negeri Singa” ini, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 571.000 orang dengan kontribusi pendapatan 1,7 miliar dollar AS.

Menariknya, seperti diungkapkan Asisten Manajer Healthcare Enrichment Division STB Lusiana Tjahyono, Singapura menggaet pasien internasional bukan semata untuk mengejar pendapatan, melainkan demi membangun sistem pelayanan kesehatan nasional yang lebih baik bagi warganya. Dengan penduduk hanya 5 juta orang (data pertengahan 2010), sangat sulit untuk mencapai kualitas yang diinginkan. Kedatangan pasien internasional menambah jumlah pasien yang harus dilayani sehingga bisa meningkatkan efisiensi biaya pengobatan.

Saw Chit Aung mengatakan, Pemerintah Singapura memberikan subsidi kesehatan bagi warga negara dan penduduk tetap (permanent resident), baik yang berobat di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta. Rumah sakit pemerintah jumlahnya 75 persen dari total jumlah rumah sakit.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia tampaknya belum banyak mengeksplorasi turisme kesehatan, termasuk memanfaatkannya untuk peningkatan sistem kesehatan nasional. Indonesia belum masuk daftar negara tujuan turisme kesehatan di Asia.

Justru pasien asal Indonesia menjadi pasar potensial yang digarap oleh negara lain. Catatan STB, tahun 2005-2009, Indonesia merupakan negara asal turis asing terbesar yang datang ke Singapura. Pada tahun 2009 jumlahnya mencapai 1,7 juta dari total 9,7 juta turis asing yang datang ke Singapura. Sektor turisme kesehatan menyumbang pendapatan keempat terbesar setelah belanja, akomodasi, dan makanan.

Dukungan pemerintah

Indonesia bukannya tidak mampu. Sebuah rumah sakit di Solo, Rumah Sakit Islam Surakarta Yarsis, sejak awal tahun 2009 bersama Asosiasi Biro Perjalanan dan Wisata Kota Solo meluncurkan Solo Tourism and Health Club. Rumah sakit ini memiliki layanan terapi kanker bedah beku (cryosurgery) untuk penderita kanker stadium lanjut.

Terapi ini disebutkan dokter ahlinya, Darmawan Ismail, yang pertama di Indonesia dan belum terdapat di rumah sakit lain di Asia Tenggara. ”Namun, memang susah ya kalau jalan sendiri tanpa dukungan pemerintah. Kami sudah ikut pameran ke sejumlah negara, tapi karena stan kecil, kurang bisa menarik perhatian,” kata Darmawan.

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Priyo Sidipratomo mengatakan, berpromosi soal layanan kesehatan tidak melanggar etika.

Dari aspek pariwisata, justru Indonesia seharusnya unggul karena memiliki Bali dan tempat eksotis lainnya. Sekarang tinggal kita mau memanfaatkannya atau tidak, dan yang lebih penting lagi, seperti yang dilakukan Singapura, mengejar turisme kesehatan tidak sekadar untuk menangguk pendapatan, tetapi juga untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi warga sendiri.

Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar